Selasa, 17 April 2012

Pasal 7 Ayat 6A, Pengokohan Liberalisasi Migas


DPR melalui rapat paripurna yang berakhir Sabtu (31/3/2012) mengesahkan UU APBN-P 2012. Diantaranya DPR memutuskan pasal 7 ayat 6 dengan disertai tambahan ayat 6A. Sesuai ayat 6A itu, harga BBM per 1 April tidak jadi naik. 
Di dalam UU APBN-P 2012 yang diputuskan oleh DPR itu dinyatakan pasal 7 ayat 6: harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Ayat 6A: Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung. 
Dalam UU APBN-P 2012 itu, DPR dan pemerintah menetapkan asumsi harga minyak (Indonesia Crude Oil Price/ICP) baru sebesar US$ 105 perbarel dari sebelumnya US$ 90 per barel di APBN 2012. Ayat 6A itu mengamanatkan, jika rata-rata ICP enam bulan terakhir lebih tinggi atau lebih rendah 15 persen dari harga minyak yang diasumsikan yaitu US$ 105 perbarel, pemerintah bisa dinaikkan atau menurunkan harga BBM bersubsidi. Artinya jika rata-rata ICP enam bulan terakhir minimal US$ 120,75 maka harga BBM boleh dan sah langsung dinaikkan sesuai keinginan pemerintah.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, nilai rata-rata ICP untuk enam bulan ke belakang rinciannya adalah, ICP Oktober 2011 US$ 109,25 per barel, November 2011 US$ 112,94, Desember 2011 US$ 110,70, Januari 2012 US$ 115,90 per barel, Februari 2012 US$ 122,17 per barel, dan Maret 2012 US$ 128 per barel. Maka, rata-rata ICP enam bulan kebelakang per 1 April adalah US$ 116,49 per barel. Artinya, kenaikan rata-rata ICP masih 10,94 persen dari asumsi di APBN-P 2012, yaitu sebesar US$ 105 per barel. Sehingga, harga BBM tidak bisa naik pada 1 April 2012 seperti yang direncanakan pemerintah. 
Tidak dinaikkannya harga BBM pada 1 April lalu itu tidak final, tetapi hanya sementara. Pada 1 Mei nanti, jika rata-rata ICP enam bulan ke belakangnya sudah US$ 120,75 per barel, maka harga BBM akan dinaikkan. Artinya, jika rata-rata ICP pada April ini mencapai US$ 134,64 per barel maka pada 1 Mei nanti harga BBM langsung dinaikkan. Jika melihat rata-rata ICP pada bulan Maret yang mencapai US$ 128 per barel, bukan tidak mungkin harga minyak dunia akan terus naik sebab ketegangan di Timur Tengah masih terus terjadi, krisis Suriah belum juga mereda, ketegangan tentang Iran dan selat Hormuz juga masih ada. Bahkan menurut berita terakhir, sinyal perekonomian Amerika Serikat yang tumbuh juga turut menaikkan harga minyak dunia (lihat, bisnis keuangan.kompas.com, 3/4).
Jika angka rata-rata ICP April kurang dari US$ 134,64 per barel, harga BBM per 1 Mei tidak naik. Tapi itu juga hanya sementara. Jika rata-rata ICP pada April dan Mei bertahan seperti rata-rata ICP Maret pada angka US$ 128 per barel, maka rata-rata ICP enam bulan ke belakang per 1 Juni (Desember, Januari, Februari, Maret, April, Mei) akan mencapai US$ 122,13 atau lebih tinggi 16,3 persen dari ICP yang diasumsikan di APBN-P. Jika itu terjadi maka harga BBM pada 1 Juni langsung naik. 
Jika itu tidak terjadi dan harga BBM per 1 Juni tidak naik, maka itu juga bersifat sementara. Berikutnya, pada 1 Juli bisa dihitung lagi rata-rata ICP enam bulan ke belakang dan jika mencapai US$ 120,75 maka harga BBM boleh dan sah untuk langsung dinaikkan. Begitu seterusnya, sampai akhir tahun anggaran 2012. 
Jika melihat perkembangan harga minyak, hampir bisa dipastikan harga BBM akan naik pada tahun ini. Semua itu karena ketentuan  ayat 6A UU APBN-P yang diputuskan oleh rapat paripurna DPR itu. Konsekuensi dari keputusan DPR itu, masyarakat akan dihantui oleh "ancaman" kenaikan harga BBM setiap awal bulan. "Ancaman" yang berulang itu tentu akan menjadi beban baru bagi masyarakat. Bisa jadi hal itu akan mempengaruhi tingkat depresi di masyarakat. Disamping itu, masyarakat menghadapi situasi yang tidak pasti. Situasi seperti itu menyulitkan pada pelaku usaha untuk membuat keputusan. Tapi yang jelas, dengan kondisi harga BBM diambangkan seperti itu, maka harga-harga barang yang sudah naik saat ini tidak akan turun. Dan jika pada saatnya nanti harga BBM dinaikkan, harga-harga itu juga masih berpotensi untuk naik lagi. 
Adanya pasal 7 ayat 6A, alih-alih menyelesaikan kemelut persoalan BBM, tapi sebenarnya justru menegaskan makin kokohnya liberalisasi ekonomi dan liberalisasi migas di negeri ini. Indikasinya, Pertama, telah secara bulat ditetapkan migas sebagai komoditas yang dalam penetapan harganya (pricing policy) benar-benar mengikuti harga internasional atau harga pasar. Akibatnya, segala bentuk perhitungan juga akan mengacu ke sana. Di situlah problema di seputar berapa sebenarnya harga produksi, harga jual, dan berapa sebenarnya subsidi yang akan terus berlanjut, membuat persoalan BBM ini menjadi tidak terurai secara jernih.
Kedua, ketidakberdayaan akibat Indonesia sekarang telah menjadi negara nett importir, sehingga kenaikan harga minyak dunia seolah menjadi bencana. Semestinya bila Indonesia bisa kembali menjadi nett exportir dengan menjaga tingkat produksi seperti dulu (pernah di atas 1,5 juta barel per hari) yang di atas kebutuhan dalam negeri, maka setiap peningkatan harga minyak dunia akan menjadi berkah. Tapi usaha untuk meningkatkan produksi minyak mentah terganjal oleh fakta bahwa saat ini akibat liberalisasi sektor hulu migas, sumur-sumur minyak telah dikuasai penuh oleh perusahaan swasta asing. Pemerintah, dalam hal ini BP Migas, terbukti tidak mampu mengontrol tingkat lifting. Yang aneh, di tengah situasi global yang sangat kondusif dimana harga minyak terus meningkat dan teknologi yang semakin canggih, tapi lifting justru terus menurun.
Ketiga, penetapan pasal 7 ayat 6A sejatinya hanya menunjukkan kemenangan doktrin ekonomi pasar. Hal itu makin menegaskan, negara ini makin mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme neo liberal. Karena itu, makin kokohnya liberalisasi migas ini sebenarnya hanyalah penegasan dan konsekuensi logis dari makin kokohnya sistem ekonomi kapitalisme neo liberal di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar